PangDay: Golput #04
17 April 2019, hari yang paling
ditunggu-tunggu, hari sakral, puncak keramaian, dari Demokrasi Indonesia.
Tanding ulang, antara Jokowi dan Prabowo, yang pernah sengit dan heboh di 2014.
Lalu diikuti oleh adu nasib, para puluhan ribu Calon Legislatif, mulai tingkat
Kabupaten/Kota sampai di tingkat Pusat, di Senayan itu.
Pemilu serentak tahun 2019 ini memang
jadi pemilu paling panas, khusus pemilihan presidennya, kick off nya saja mulai
dari Pelantikan Presiden 2014. Kubu Jokowi dan Kubu Prabowo seakan sudah
menasbihkan diri, akan jadi rival abadi. Gak akan kendor, sampai Jokowi bisa
jadi Presiden 2 Periode, atau sampai Prabowo bisa jadi RI 1, setelah edisi
sebelumnya harus kalah, sama kuda hitam bernama Joko Widodo, orang sipil yang
belum pernah kalah, dalam pemilihan itu.
Saya pantau, soal pemilu ini di semua
tempat lagi rame-ramenya, apalagi di media sosial. Beranda facebook, jelajah
Instagram, Timeline twitter, sampai story wa saya isinya tentang pilpres semua.
Kampanye, untuk terakhir kalinya. Sebelum nanti sore, mereka harus menerima dan
lapang dada, jika jagoannya sudah kalah. Atau, mulai berpesta, karena jagoannya
juara, lagi atau akhirnya.
Bagi saya, euforia pemilu sudah lama
hilang, sejak saya masuk kebun 2 bulan lalu, sejak topik pemilu gak menarik
dibahas disini, sejak saya melewatkan 3 edisi debat terakhir.
17 April saya isi dengan nongkrong,
nongkrong di TPS Desa Lamin Pulut. Lumayan, ada keramaian yang bisa saya liat,
ada banyak orang yang bisa saya ajak ngobrol, ketimbang di Kebun, sunyi.
Lagipula saya memang penasaran dengan suasana Pemilu di Pedalaman, di kambung
dayak.
TPS di Desa Lamin Pulut cuma ada
satu, dengan jumlah DPT sekitar 500 orang. Antriannya sangat panjang dan lama,
bagi mereka yang sudah mendaftarkan form C6 nya saja harus menunggu sekitar 2
jam untuk dapat giliran ke bilik suara. Wajar saja, karena setiap orang harus
mencoblos 5 surat suara, dan katanya, melipat surat suaranya lama.
Saya hadir, bukan semata-mata cuma ingin
jadi penonton. Ada sedikit harapan, siapa tau saya bisa ikut nyoblos, minimal
presidennya saja. Siapa tau, setelah jam 12 siang ada surat suara sisa, yang
katanya jatah bagi para perantau, seperti infografik yang banyak saya liat di
media sosial.
Sebenarnya saya sudah tau, kalo
perantau tanpa form A5 gak bisa ikut nyoblos, walau bawa E-KTP sekali pun, sama
seperti tahun 2014 lalu. Bedanya, dulu saya di Semarang, di kota besar, sekarang
saya di pedalaman , di kampung dayak, siapa tau kebijakannya beda.
Informasi yang saya dapat di TPS
beda-beda. HRD saya bilang pekerja yang mau nyoblos bisa ke TPS terdekat, bawa
E-KTP, info valid dari pimpinan TPS. Panwasnya bilang gak bisa, harus ada
surat, saya tunjukkan surat C6 saya yang dikirim lewat WA katanya bisa,
ditunggu dulu sampai tengah hari. Lewat jam 12, saya menghadap lagi, sedikit
lobbi-lobbi, tapi gak tembus, katanya wajib A5, sambil ditunjukkan buku saku
petugas TPS. Yasudah, belum rejeki. Golput lagi. Hehe
Saya sih biasa saja, gak
kecewa-kecewa amat, karena sudah pengalaman golput di edisi sebelumnya. Cuma
sedikit miris saja, 5 tahun berlalu, tapi permasalahan soal hak coblos
mencoblos ini gak selesai-selesai, terkesan jatuh di lubang yang sama.
Padahal, perantau di Indonesia ini
banyak sekali, jumlahnya mungkin jutaan. Dan saya yakin mayoritas gak ngurus
A5, sama seperti saya dan teman-teman mahasiswa saya dulu di tahun 2014, dan
sama seperti saya dan ratusan karyawan di perusahaan tempat saya kerja
sekarang.
Sehingga saya pikir, slogan “1 suara
sangat penting untuk menentukan nasip Indonesia” itu hanya omong kosong, bahasa
jawanya bulsit. Pemanis saja, gaya-gayaan, biar pemilunya tetep ganteng.
Padahal jutaan suara tertolak, dengan
alasan gak punya A5.
Coba dimanfaatin NIK E-KTP yang mahal
itu, coba diintegrasikan dengan sistem dan software canggih, supaya orang yang
ber E-KTP bisa milih lewat aplikasi atau semacam mesin “ATM” dengan regulasi yang udah di Undang-undangkan dan
sistem keamanan tingkat tinggi supaya suara online itu gak bisa terduplikasi,
tertembus hacker, dan tetap rahasia. Saya rasa gak sulit-sulit amat, untuk
negara sebesar Indonesia ini.
Tapi yasudahlah, Indonesia masih
lebih percaya dengan cara manual, masih lebih suka mendebatkan kardus dan aluminium.
Yang dianggap sakti itu.
Sekarang, pemilu sudah selesai.
Hasilnya pun sudah bisa dilihat, walau hanya hitung cepat, walau hanya Presiden
nya saja. Ada kubu yang berpesta, ada kubu yang kecewa. Ada juga yang
biasa-biasa saja, seperti saya, walau jagoannya kalah.