Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ironi perikanan budidaya di sungai Mahakam; Potensi besar, produksi kecil

KJA di Sungai Mahakam (Kec. Tenggarong Kab. Kukar)
Sungai Mahakam merupakan sungai terbesar di Indonesia, dan merupakan salah satu icon kebanggan masyarakat Kalimantan Timur khususnya masyarakat Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sungai Mahakam merupakan urat nadi pembangunan dan juga merupakan sumber kehidupan khususnya sumber air bagi masyarakat Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Sungai Mahakam merupakan sungai yang memiliki peran fungsi multi sektor, baik sektor transportasi, pengairan, perikanan, dan pariwisata.  Sungai Mahakam juga memegang perang yang sangat penting terhadap sosial budaya bagi masyarakatnya. Kehidupan sosial budaya masyarakat kutai memang tidak bisa dilepaskan dari sungai Mahakam. Hal ini terlihat dari pola tata kota dan penyebaran penduduknya yang mengikuti jalur sungai yang membentang dari hulu ke hilir

Untuk sektor perikanan, sungai Mahakam masih di didonasi oleh sektor penangkapan di bagian hulu sungai. Komoditas perikanan tangkapnya pun sangat berfariatif, seperti ikan sepat, ikan haruan, ikan belida, dan ikan patin. Masyarakat kutai memang memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap hasil tangkap ikan air tawar karena telah menjadi tradisi dan budaya, sehingga sampai saat ini penangkapan ikan air tawar di sungai Mahakam masih dilakukan.

Seiring berjalannya waktu, penangkapan ikan air tawar di sungai Mahakam sudah terbilang tidak lagi efektif. Jumlah hasil tangkapnya tiap tahun mengalami penurunan. Hal ini dirasa sangat krusial, mengingat sebagaian besar masyarakat kutai mengandalkan pasokan protein hewaninya dari ikan air tawar. Penurunan jumlah tangkapan membuat harga ikan air tawar menjadi tidak lagi ekonomis dan dampak ekonominya mulai dirasakan oleh masyarakat kutai.

Probelatika dari penurunan hasil tangkapan ikan di sungai Mahakam juga berimbas kepada sektor UKM yang selama ini menjadi sektor ekonomi andalan bagi masyarakat asli kutai. Banyak produk olahan ikan air tawar seperti amplang, kerupuk ikan, ikan asin, abon, dan lain sebagainya kini mengalami penurunan produksi dikarenan bahan baku yang semakin sulit di dapat dan harganya yang juga mulai tidak bersahabat.

Permasalahan lain yang kini menjadi kenadala produksi penangkapan ikan air tawar di sungai Mahakam ialah adanya larangan penangkapan ikan di area area strategis penangkapan karena berbarengan dengan zonasi konservasi pesut Mahakam. Pesut merupakan mamalia air tawar yang sangat dilindungi karena kini populasinya semakin kritis, jumlah pesut Mahakam di habitat aslinya pada tahun 2015 oleh yayasan RASI di catat tidak lebih dari 100 individu. Sehingga, keberadaannya di hulu sungai Mahakam harus dilindungi. Dengan lahirnya zonasi konservasi ini, maka area penangkapan ikan di hulu sungai Mahakam menjadi semakin sempit, dan menyebabkan penurunan jumlah penangkapan.

Solusi bijak dari permasalah produksi ikan air tawar adalah konvensi perikanan tangkap ke perikanan budidaya. Berbeda dengan perikanan tangkap yang zona produksinya hanya terbatas pada bagian hulu sungai, perikanan budidaya dirasa lebih unggul dan ramah lingkungan karena berpotensi untuk di kembangkan di sepanjang aliran sungai Mahakam, mulai dari hulu hingga hilirnya.

Perikanan budidaya di sungai Mahakam sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun perkembangannya sangat lambat. Masyarakat kutai yang mendiami daerah aliran sungai Mahakam belum banyak mengenal teknologi budidaya. Perkembangan teknologi budidaya di sepanjang sungai Mahakam masih di dominasi oleh keramba jaring apung atau keramba tancap dengan sistem tradisional. Sebagian masyarakat hanya mengerti cara memelihara ikan sepatas membeli bibit / menangkap ikan di sungai dan diberi makan hingga besar, tanpa memperhatikan aspek aspek budidaya ikan yang baik dan benar.

Produksi hasil perikanan budidaya juga masih tergolong sangat kecil. Bahkan menurut data dari DKP Kab. Kutai Kartanegara, produksi perikanan budidaya di sungai Mahakam tidak lebih dari 30% dari produksi perikanan tangkap. Hal yang ironis, melihat prospek usaha dan potensi yang amat teramat besar untuk untuk perikanan budidaya di sungai Mahakam.

Kendati produksinya yang kecil, namun untuk sebagian pembudidaya ikan air tawar di sungai Mahakam telah merasakan keuntungan dari perikanan budidaya. Bapak Sugeng (46 tahun), salah satu pemilik keramba jaring apung sistem tradisional di Kec. Loa Kulu Kab. Kutai Kartanegara menegaskan, bahwa perikanan budidaya menurutnya telah menghasilkan keuntungan yang besar dan memiliki keunggulan dibandingkan perikanan tangkap. Menurutnya, perikanan budidaya lebih fleksibel, dapat diterapkan di daerah yang dekat dengan kota sehingga pasarnya lebih mudah. Berbeda dengan perikanan tangkap yang wilayahnya hanya terpusat di hulu makaham, yang dalam pemasarannya di kota agak merepotkan karena jarak transportasi yang jauh.
KJA di Kec. Loa Kulu
Bapak Sugeng juga menegaskan, jika pada saat panen hasil budidaya ikan miliknya tidak pernah sepi pembeli. Bahkan menurutnya, jauh hari sebelum ikan ikannya di panen orang-orang pedagang ikan di Kota Tenggarong dan Kota Samarinda telah membeli seluruh hasil panennya. Hal ini berkaitan dengan besarnya permintaan masayarakat terhadap ikan air tawar yang semakin lama semakin meningkat dan tidak pernah mengalami penurunan.

Namun Pak Sugeng juga tidak menepis, jika dalam penerapannya perikanan budidaya juga memiliki banyak kendala dan permasalahan. Sampai saat ini kendala yang di alami Pak Sugeng terhitung kompleks. Belum tersedianya bibit unggul di daerah, mahalnya harga pakan, dan lemahnya perhatian dari pemerintah setempat masih menjadi masalah utama baginya untuk mengembangkan bisnis perikanan budidayanya agar lebih berkembang.

Di Kab. Kutai Kartanegara sendiri, hanya terdapat 2 balai pembenihan ikan, yang produksinya tentu saja tidak maksimal dan mencukupi seluruh permintaan para pembudidaya ikan di aliran sungai Mahakam yang begitu amat luas. Belum adanya produsi pakan berkualitas lokal juga membuat para pembudidaya harus membeli pakan yang berasal dari luar daerah dengan harga yang tinggi, sehingga untuk mensiasasi kendala dalam pemberian pakan para pembudidaya tidak memberikan pakan secara cukup, dan proporsi pemberiaannya hanya ala kadarnya. Sehingga pertumbuhan ikan menjadi lambat, dan masa panennya pun menjadi lama.

Kurangnya keseriusan pemerintah terhadap pembangunan perikanan budidaya di sepanjang daerah aliran sungai Mahakam menjadi faktor kunci tidak maksimalnya produksi perikanan budidaya. Pemerintah dinilai tidak serius dalam hal pengawasan dan bimbingan kepada pembudidaya, sehingga para pembudidaya yang memang tidak memiliki latar belakang pendidikan perikanan budidaya menjadi tidak berkembang dan hanya terus menerapkan sistem tradisional dan tidak kunjung beralih untuk menerapkan sistem budidaya yang lebih maju.

Padahal, jika di telaah kembali. Aliran sungai Mahakam memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan perikanan budidaya dengan sistem yang lebih intensif. Pasar yang besar, lokasi yang strategis dan juga kondisi perairan yang menunjang segala bentuk aspek dalam budidaya, jika di manajemen dengan baik oleh pemerintah, bukan tidak mungkin jika Daerah Kutai Raya sepanjang aliran sungai Mahakam berpotensi menjadi daerah penghasil perikanan air tawar terbesar di bumi Kalimantan. Dan menjadi kekuatan ekonomi baru yang besar yang dapat menyaingi industri pertambangan yang saat ini telah mengalami penenurunan. Yang jelas, dengan pembangunan industri perikanan budidaya yang berkelanjutan, konflik sosial antara masayarakat dan industri pertambangan tentang isu lingkungan kedepan tidak akan ada lagi,


Karena perikanan budidaya itu menguntungkan, dan tentunya ramah lingkungan !