PangDay: Lembo #05
Syukurlah hari ini cuaca sedang
bersahabat, mendung tapi tidak hujan. Akhir-akhir ini cuaca memang sedang panas
sekali. Matahari mungkin saja sudah lebih dekat dari biasanya. Membuat jalanan
di sepanjang blok jadi padang pasir. Mata saya jadi merah dan kumal, karena
telalu banyak terpapar debu jalanan. Warna kulit saya pun jadi semakin eksotis
dari biasanya. Gosong dan hitam merata.
Aktivitas saya minggu ini memang
lebih banyak di lahan. Melakukan inventarisasi lahan masyarakat adat dan
melakukan perhitungan tanam tumbuh. Menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.
Agar tidak ada permasalahan di tempo hari.
Keluar masuk hutan menjadi rutinitas
saya setiap hari. Berjumpa berbagai rona, mulai padang ilalang, semak belukar,
sampai hutan basah. Saya juga banyak menemukan
hal baru disini, tanaman-tanaman hutan yang jarang saya jumpai seperti kantong
semar, salak hutan yang kulitnya sangat cantik itu, hingga pohon yang batangnya
bisa berdarah, saya lupa namanya. Sebagai penggemar hal-hal semacam ini, saya
sepertinya mulai menyukai pekerjaan ini.
Hari ini, saya dan tim melakukan
pengecekan lahan di wilayah Dusun Malong. Untuk rencana pembuatan jalan masuk,
agar operasional perkebunan bisa dimulai, dan masyarakat malong bisa kerja
lebih dekat dengan kampungnya. Gak harus tinggal di pondok darurat, karena
lokasi kerja yang jauh.
Wilayah operasional kebun di Dusun
Malong memang belum sama sekali terjamah. Aksesnya sangat sulit. Sampai sepeda
motor modif ala kebun itu pun sudah gak bisa masuk jauh. Alhasil harus
ditinggal, perjalanan harus dilakukan dengan jalan kaki, sepanjang 5 km sampai
ke titik kordinat yang sudah kami rencanakan.
Jalan kaki dengan jarak yang jauh
sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Dulu waktu kuliah, saya sering mendaki
gunung, tapi tetap saja bikin ngos-ngosan, apalagi saat ini saya sudah jarang
olahraga.
Saya jadi malu dengan Pak Duad, yang
seharusnya saya sebut Mbah itu. Orang tua asli Dayak Tunjung yang sudah berumur
65 tahun ini kuat sekali berjalan kaki. Seperti gak ada capek-capeknya. Padahal
sebelumnya dia sudah jalan kaki lebih dari 5km dari rumahnya di kampung Dusun
Malong ke lokasi pertemuan kami ini. Luar biasa.
Pak Duad memang sisa-sisa generasi
Dayak Tunjung yang mewarisi berbagai kearifan lokal di Dusun Malong. Beliau lah
yang masih mengenali lahan-lahan di dalam hutan itu milik siapa-siapa saja,
termasuk apakah ada makam nenek moyang atau tidak di dalam sana. Maklum saja,
sebelumnya Pak Duad juga tinggal dan besar di dalam hutan, sampai akhirnya
orang tua mereka memutuskan membentuk perkampungan sendiri, yang sekarang
bernama Dusun Malong itu.
Saat ini, hutan-hutan di sekitar
wilayah Dusun Malong sudah banyak
beralih fungsi. Didominasi oleh kebun masyarakat, seperti kebun sawit, karet,
dan sengon. Dan rencananya akan masuk kebun sawit perusahaan, salah satunya
perusahaan tempat saya bekerja ini.
Kalo saya amati, sepanjang perjalanan
masih ada sisa-sisa peradapan masa lalu didalam sini. Bukti-bukti kalo
masyarakat Dayak Tunjung pernah tinggal dan bertahan hidup di hutan ini. Salah
satunya adalah Lembo.
Saya sendiri sebenarnya belum terlalu
paham dengan istilah “lembo”. Ada yang mengartikan lembo adalah rumah orang
Dayak di dalam hutan. Ada yang bilang kalo lembo itu pondok berkebun orang
Dayak di hutan, ada juga yang mengartikan lembo itu bukan hanya rumah atau
pondokan, tapi juga termasuk tanah disekelilingnya.
Apapaun itu pemahamannya, yang jelas
saat saya melihat lembo saya langsung merasa tabjub. Eh, mungkin lebih tepatnya
terpukau sambil bertanya-tanya. Bagaimana bisa mereka dulu tinggal ditempat
seperti ini ?. Ditengah hutan, Jauh dari keramaian, tak ada tetangga, dan hanya
mengharapkan hasil hutan untuk bertahan hidup.
Pasti sangat berat sekali, setidaknya
bagi generasi saat ini.
Kalo saya liat, lembo yang saya
temukan ini bentuknya lumayan bagus. Rumah ini gak beda jauh dari rumah-rumah
di kampung sana. Ukurannya lumayan besar, tipe 40 sepertinya. Informasinya,
lembo ini milik orang kampung, yang masih satu generasi sama Pak Duad. Infonya
juga baru belasan tahun saja lembo ini ditinggalkan.
Tepat di depan lembo ada sungai
dengan lebar sekitar 6 meter. Sungai inilah yang sejak awal kami cari.
Rencananya akan dibangun jembatan, sebagai penghubung jalan kebun di wilayah
Desa Lamin Telihan ke rencana kebun di wilayah Dusun Malong.
Jaman dulu, Suku Dayak menjadikan
sungai sebagai poros transportasi. Dengan menggunakan Perau, mereka bisa menuju
berbagai daerah. Sungainya bercabang, dan bermuara ke sungai besar tempat
perkampungan suku Kutai berada, ditempat mereka bisa barter hasil hutan dengan
sandang papan, di sungai belayan. Yang bermuara ke Sungai Mahakam itu.
Air di anakan sungai ini tidak
jernih. Warnanya relatif merah, karena memang dataran disekelilingnya adalah
ranas, dan gambut. Ikannya pun sudah tidak sebanyak dulu, pun ukurannya sudah
kecil-kecil. Karena kebiasaan beberapa oknum masyarakat yang menangkap ikan
menggunakan alat strum, lebih parah lagi menggunakan racun, sehingga banyak
ikan yang mati termasuk anakannya.
Disekitar sini juga sudah sulit
ditemui hewan buruan seperti kancil, payau, dan babi hutan. Entah mengapa
mereka juga tidak tau. Kalo saya perhatikan, hutan disini memang miskin
keragaman hayati, faktor geografi sepertinya. Pantas saja, masyarakat Malong
sudah tidak tertarik lagi tinggal di hutan. Karena di Kampung, lumbung mereka
lebih mudah terisi, dengan bekerja di perusahaan.
Saat ini, Lembo hanya sebagai
penanda, bahwa orang tua mereka pernah tinggal disana. Pun sebagai dasar,
sebagai bukti kuat untuk mengajukan kompensasi lahan ke pihak perusahaan.
Lumayan, untuk modal membangun peradaban yang lebih modern di kampung. Juga
untuk modal usaha dan pendidikan anak-anak mereka.
Sedikit ironi, tapi bagi saya masih
sangat wajar. Pilihan yang sangat realistis. Seperti pilihan kebanyakan orang modern
di Jawa sana. Menjual sawah warisan di desa untuk tinggal bersama keluarga barunya
di kota.
Lembo yang berada jauh di tengah hutan tanpa ada akses jalan darat |