Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tradisi Berladang Padi Gunung di Dusun Malong Desa Lamin Telihan

Masyarakat Dusun Malong sedang melakukan aktivitas panen padi gunung

Yupa Tenggarong - Dusun Malon merupakan kampung tradisional yang terletak di Desa Lamin Telihan Kecamatan Kenohan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Dusun Malong menjadi kampung tradisional yang mayoritas masyarakatnya adalah suku Dayak Tunjung.

Lokasinya tidak terlalu strategis, berjarak tempuh kurang lebih 2 jam dari Pusat Kecamatan Kenohan di Desa Kahala, melewati Perusahaan Sawit juga Perusahaan Hutan Tanaman Industri.

Di antara banyak kampung di Kecamatan Kenohan, Dusun Malong merupakan kampung tradisional yang masih melestarikan tradisi menanam padi gunung.

Kemajuan jaman memang membuat masyarakat tidak lagi melakukan aktivitas berladang padi gunung.

Adapun keterbatasan hutan yang kini menjadi perkebunan kelapa sawit, juga berpindahnya profesi masyarakatnya yang saat ini telah banyak bekerja di perusahaan menjadi alasan utama mereka tidak lagi melakukan aktivitas berladang padi gunung.

Hal ini memang cukup mendasar, karena aktivitas berladang padi gunung merupakan aktivitas yang sibuk, panjang, dan cukup melelahkan. Sedangkan hasil ekonominya tidak cukup relevan untuk dijadikan sumber pemasukan utama di jaman seperti sekarang.

Adapun aktivitas berladang padi gunung ini memerlukan waktu paling sedikit sekitar 6-7 bulan yang diawali dengan mencari lahan, membakar lahan, membersihkan lahan, menugal dan menyebar benih, hingga menunggu padi siap panen saat berusia 6 bulan.

Menugal adalah aktivitas melubangi tanah menggunakan tombak atau tongkat kayu yang biasanya dilakukan oleh laki laki, sedangkan setelah itu para perempuannya akan menyebar benih 3-4 butir kedalam lubang tugalan.

Masyarakat Dusun Malong merupakan masyarakat yang masih melakukan tradisi berladang padi gunung hingga saat ini.

Mereka biasanya bergerak secara kelompok besar, beranggotakan sekitar 15-20 orang yang masih merupakan kerabat keluarga.

Banyak proses aktivitas berladang padi gunung yang tidak bisa dilakukan di jaman sekarang terkait regulasi dan larangan dari Pemerintah.

Salah satu proses yang tidak bisa dilakukan adalah membakar hutan.

Pada awalnya masyarakat Dayak selalu membakar hutan untuk membuka lahan yang dianggap cocok untuk dijadikan tempat berladang padi gunung.

Namun, seiring berkembangnya jaman, Pemerintah melarang melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan membakar hutan.

Larangan membakar hutan ini pada awalnya cukup memberatkan, karena terkait dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat sekitar yang sudah terbiasa membakar hutan untuk membuka ladang.

Tak jarang masyarakat harus kucing kucingan dengan penegak hukum. 

Pun dari sudut Pemerintah juga tak pernah henti-hentinya selalu melakukan aktivitas sosialisasi larangan pembakaran hutan juga melakukan patroli rutin di sekitar kawasan hutan.

Adapun kolaborasi dan kerjasama dengan Perusahaan Hutan Tanaman Industri menjadi suatu solusi melestarikan tradisi berladang padi gunung.

Belakangan, setelah berkurangnya luasan hutan juga adanya larangan membakar hutan, minat masyarakat Dusun Malong untuk berladang padi gunung menjadi berkurang.

Mereka lebih memilih untuk bekerja di perusahaan sawit ataupun kayu yang dianggap lebih menjanjikan.

Gaji yang didapat dari bekerja di perusahaan memang terbilang besar, cukup untuk membeli beras di pasar juga kebutuhan lainnya.

Namun tradisi tetaplah tradisi. Suatu hal yang menurut sebagian masyarakat Dusun Malong harus selalu dipertahankan. Sebagai wujud penghormatan atas leluhur juga sukunya.

Tetua Dusun Malong akhirnya menjalin kerjasama dengan perusahaan hutan tanaman industri yang berada di sana.

Bentuk kerjasamanya adalah masyarakat diijinkan melakukan aktivitas berladang padi gunung di atas lahan yang baru dilakukan land clearing oleh perusahaan.

Masyarakat berladang di sela-sela tanaman kayu industri milik perusahaan yang baru tanam atau bisa juga disebut dengan sistem polikultur antara tanaman kayu dan tanaman padi gunung.

Berkat kerjasama ini, masyarakat tidak perlu lagi melakukan pembukaan hutan secara mandiri dengan membakar hutan.

Mereka hanya perlu memilih lahan mana yang cocok untuk ditanami padi gunung sambil berkordinasi dengan perusahaan.

Aktivitas berladangnya pun juga dirasa menjadi lebih mudah.

Jika secara tradisional mereka perlu melakukan proses perawatan, pembersihan rumput liat, dan menjaga dari serangan hama. Dengan adanya kerjasama ini mereka tidak perlu lagi melakukan aktivitas itu, karena tanaman padi gunung mereka secara tidak langsung sudah dirawat oleh perusahaan ketika pekerja perusahaan merawat tanaman kayu nya.

Adanya kemudahan-kemudahan itu membuat aktivitas berladang padi gunung tidak menjadi pekerjaan utama masyarakat.

Kebanyakan mereka pekerjaan utamanya adalah karyawan perusahaan, saat musim tanam datang mereka menyempatkan menanam padi gunung, kemudian setelah itu tanamannya bisa ditinggal dan kembali bekerja di perusahaan sampai waktunya panen.

Panen dilakukan setelah 6 bulan sejak benih disebar. Ketika itu tinggi pohon perusahaan baru sekitar 1 meter.

Masyarakat hanya bisa melakukan aktivitas tanam padi gunung 1 kali di lahan yang sama. Di musim tanam selanjutnya, mereka akan pindah ke lahan baru bertebatan dengan adanya aktivitas land clearing baru oleh perusahaan.

Hasil dari berladang padi gunung juga cukup banyak. Setelah dibagi antar kelompok, hasilnya cukup untuk disimpan dan dimakan selama 1 tahun.

Bahkan jika hasilnya dirasa lebih dari cukup, banyak masyarakat yang menjual hasil panennya ke pasar.

Beras dari padi gunung lebih mahal daripada beras sawah.

Selain rasa dan teksturnya yang lebih enak, ada unsur tradisi yang membuat beras dari padi gunung sangat laris di pasaran walaupun harganya lebih mahal.