Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PangDay: Mata Air #03


Lamin Pulut, termasuk desa yang beruntung, walaupun warna air sungainya merah, karena dikelilingi perusahaan sawit, yang pakai banyak pupuk itu, masih ada sumber mata air yang jernih, yang bisa langsung diminum, yang gak habis-habis, dari 50 tahun lalu.

Terjawab sudah rasa penasaran saya, tentang asal usul air minum masyarakat disini, termasuk air minum yang ada di camp, yang saya minum setiap hari.

Saya sempat penasaran, dari mana masyarakat disini minum. Apa iya mereka merebus air ?, air mana yang mereka rebus ?, wong sepanjang mata memandang, air yang ada disini, yang ada di embung-embung dan sungai-sungai itu semua warnanya merah. Apa iya mereka beli air isi ulang galonan, pulang pergi 1 jam ke Kahala, cuma buat beli air galon, yang setiap hari habis. Rasanya gak mungkin.

Di Kantin pun, awalnya saya gak curiga. Saya pikir air di galon dispenser itu ya air isi ulang, seperti di tempat kerja saya dulu, ada mesinnya, yang bisa bikin air sungai yang kuning jadi layak minum, yang rasanya sama seperti air isi ulang 5.000an di Kota, yang beli 9 gratis 1 itu.

Ternyata air di kantin itu air mentah, gak dimasak, langsung diminum, dan gratis. Hasil ngambil dari sumber mata air, di Desa Lamin Pulut, yang jaraknya cuma sekitar 2 km.

Saya sempat gak nyangka, ditempat segersang ini, yang kontur tanahnya relatif datar, yang jenis tanahnya berpasir, yang kalo siang panas banget ini, ada sumber mata airnya. Makin gak nyangka lagi kalo sumber mata airnya itu jernih banget, seger, bisa langsung diminum, dan gak bikin sakit perut.

Waktu saya datangin, buat ngambil air minum untuk kantin, saya sempat kaget. Sumber mata airnya cuma dipinggir jalan saja, gak ada perlakuan spesial, cuma dikasih pipa untuk pancuran saja, biar mudah masukin ke wadah jerigen. Gak seperti mata air di Jawa, yang pernah saya datangi dulu, di Desa Kesongo Tuntang Kab. Semarang, tempat saya KKN dulu, sumber mata airnya dibangun semacam pemandian umum, baguslah pokoknya.

Atau seperti di kampung Ibu saya, di lereng pegunungan Wonosobo, yang mata airnya dialirkan ke rumah-rumah, pake bambu yang panjang sekali. Gratis untuk masyarakat, pemberian alam dan Tuhan yang maha esa.

Di Lamin Pulut, sumber air dibiarkan saja natural, air yang gak ditampung masyarakat, ya kembali lagi ke alam, berujung ke sungai. Tipikal masyarakat lokal di pedalaman kalimantan yang sangat arif dengan alam, gak serakah, ambil yang dibutuhin saja.
Ada 3 (tiga) pancuran air disana, debitnya sangat deras, kalo buat ngisi galon aqua  paling 2-3 menit saja. Masyarakat biasanya ngambilnya gak banyak, secukupnya saja, pakai jerigen, yang bisa diangkut pakai sepeda motor, kalo habis, besok ngambil lagi. Tidak seperti kami, “orang perusahaan”, ngambil pakai mobil bak terbuka, sekali ngambil 10-15 galon air, stok untuk 2-3 hari kedepan, titipan emak-emak. Hehe

Perusahaan ini cukup beruntung, gak keluarin biaya untuk air minumnya. Gak seperti perusahaan tempat saya kerja dulu, yang harus keluarkan biaya yang gak sedikit buat operasional mesin penyaring air. Belum lagi untuk camp-camp yang jauh, harus bolak balik ngambil air dari camp ke Kantor Besar. Operasional mesin, man power, bbm buat bolak balik. Pastinya gak murah, untuk sekedar air layak minum. Tapi ya namanya juga di hutan, mau gak mau ya harus mau.

Kata orang sini, sumber mata air ini sudah ada sejak jaman dulu, dari belum ada perusahaan masuk. Dan sampai sekarang, masih terus mengalir, gak habis-habis. Mereka juga peracaya, kalo air ini bersih, dan belum ada keluhan apapun, seperti sakit perut, sampai sekarang. Walaupun belum pernah diuji laboratorium.

Sumber mata air ini, merupakan anugrah dari alam semesta, yang cukup bisa buat orang di tempat lain iri. Kompensasi, dari tidak produktifnya tanah disini. Arti sebenarnya, dari quote “Tuhan tidak memberikan keinginan, tapi kebutuhan”. Bukti, kalo Tuhan dan alam semesta gak akan biarin mahluknya mati begitu saja, hanya karena gak bisa makan dan minum, dimanapun mereka berada.

Sekarang, tinggal manusianya saja. Tuhan sudah buktikan janjinya. Apa manusianya bisa terus menjaga ?. atau justru akan semakin merusak, dan pelan-pelan membunuh diri mereka sendiri. Karena alam semesta marah, dan Tuhan gak mau bantu lagi.

Semoga saja tidak.